Categories
Berita Terkini SMM Parenting Pendidikan

Self-Regulation dan Kesuksesan Akademik: Mengapa Homeschooling Bisa jadi Pilihan Tepat?

Hi Ayah Bunda, 

Saat bicara soal pendidikan, pasti semua orang tua ingin memberikan yang terbaik untuk anak. Bukan hanya dari sisi nilai, tapi juga dari cara anak belajar dan berkembang sebagai individu yang mandiri.

Saat ini, banyak anak mengikuti sistem pendidikan formal. Mereka belajar dengan jadwal yang teratur, diawasi guru, dan terbiasa mengikuti arahan. Sistem ini memang membantu membentuk rutinitas, tapi di balik itu seringkali muncul pertanyaan penting:

Apakah anak sudah benar-benar bisa mengatur dirinya sendiri dalam belajar? Tanpa guru yang terus mengingatkan, apakah anak tetap bisa fokus, menyelesaikan tugas, dan punya semangat belajar dari dalam dirinya sendiri?

Jika jawabannya belum sepenuhnya, Ayah Bunda tidak sendirian. Banyak orang tua mulai menyadari bahwa kemampuan anak dalam mengatur diri atau yang biasa disebut self-regulation belum sepenuhnya terbentuk. Padahal, keterampilan ini sangat penting untuk mendukung kesuksesan akademik jangka panjang, bahkan untuk kehidupan di luar sekolah.

Nah, salah satu cara yang kini mulai banyak dilirik untuk membantu anak mengembangkan self-regulation adalah melalui homeschooling. Melalui sistem homeschooling yang memfasilitasi anak untuk belajar dari rumah ini dinilai dapat memberi ruang bagi anak kita untuk mengenal ritme belajarnya sendiri, belajar bertanggung jawab, dan mengasah kemandirian secara nyata.

Hubungan Self-Regulation dan Kesuksesan Akademik

Nah, kenapa kita harus menerapkan self-regulation pada anak? Banyak penelitian menunjukkan bahwa anak yang memiliki kemampuan self-regulation yang baik cenderung lebih sukses secara akademik. Mereka lebih mampu merencanakan, menyelesaikan tugas dengan baik, dan tetap termotivasi meskipun ada berbagai tantangan dalam belajar.

Dalam konteks homeschooling, Ayah Bunda dapat mendukung anak belajar dengan berperan sebagai fasilitator, bukan sebagai guru yang selalu mengontrol. Ayah Bunda bisa mendampingi anak untuk menemukan cara belajar yang paling sesuai dengan dirinya. Ini adalah kesempatan bagi anak untuk belajar bagaimana cara belajar secara mandiri dan bertanggung jawab atas setiap progresnya sendiri.

Tantangan Homeschooling dalam Membangun Self-Regulation

Dibalik segala manfaat yang didapatkan dari sistem homeschooling dan kebebasannya, tidak semua anak dapat langsung beradaptasi dan mengatur dirinya dengan baik. Seringkali, terdapat beberapa tantangan yang muncul dan harus kita hadapi. Beberapa di antaranya adalah:

  • Kurangnya Struktur – Tanpa jadwal yang pasti, anak seringkali merasa bingung atau kesulitan mengatur waktu belajar mereka.
  • Kurang Motivasi Internal – Karena terbiasa dengan sistem reward dan punishment di sekolah formal, anak seringkali merasa kesulitan untuk termotivasi sendiri.
  • Kurangnya Interaksi Sosial – Dengan sistem belajar dari rumah tanpa teman sekelas yang sebaya, anak akan merasa kesepian dan tidak terbiasa dengan teamwork.

Namun, jangan khawatir Ayah Bunda! Semua tantangan ini bisa kita atasi. Homeschooling justru memberikan banyak ruang bagi anak untuk belajar mengembangkan self-regulation mereka dengan pendekatan yang lebih fleksibel. Dengan dukungan yang tepat, anak bisa belajar mengatasi tantangan ini dan berkembang dengan baik.

Bagaimana Program Daring Rutin di SMM Bisa Membantu Membangun Self-Regulation Anak?

Nah, untuk menjawab beberapa tantangan sebelumnya, di sinilah Daring Rutin di SMM hadir. Daring Rutin ini dapat membantu anak untuk belajar dengan cara yang lebih terstruktur namun tetap fleksibel. Program ini dirancang khusus untuk membantu anak mengembangkan self-regulation tanpa kehilangan kebebasan yang menjadi keunggulan homeschooling.

Apa saja sih keunggulan Daring Rutin SMM?

  1. Kelas Online Terjadwal sehingga anak tetap bisa punya rutinitas belajar yang terstruktur, tapi tetap fleksibel dan tidak membosankan.
  2. Interaksi dengan Guru dan Teman Sebaya sehingga anak-anak tetap merasa terhubung dengan teman-temannya dan tidak merasa sendirian dalam proses belajar.
  3. Materi Belajar di Learning Management System (LMS) sehingga anak bisa mengakses materi kapan saja dan belajar sesuai dengan kapabilitasnya.
  4. Learning Kit Interaktif sebagai alat bantu belajar yang menarik, sehingga anak dapat lebih mudah memahami berbagai materi yang diajarkan.
  5. Tatap Muka Rutin & Pameran Karya yang memberi kesempatan bagi anak untuk melatih keterampilan sosial mereka dan membagikan hasil belajarnya dengan teman-teman atau orang tua.

Selain itu, ada juga pilihan program seru lainnya, seperti Kelas Plus Online untuk interaksi lebih intensif dengan guru, Fun Field Trip untuk pengalaman belajar di luar kelas, dan Tatap Muka Tambahan yang bisa mendukung anak untuk belajar berkolaborasi dan mengasah keterampilan komunikasi.

Cara Orang Tua Mendukung Self-Regulation Anak dalam Homeschooling

Dengan belajar dari rumah, Ayah Bunda cukup berperan penting dalam membantu anak mengembangkan self-regulation. Nah, apa saja yang dapat kita lakukan? Ada beberapa cukup banyak cara yang bisa kita lakukan untuk mendukung anak berproses:

  • Berikan Kebebasan yang Terarah – Ayah Bunda dapat mengajak anak untuk membuat jadwal belajarnya sendiri. Namun, tetap lakukan pengawasan agar mereka tetap on track.
  • Latih Anak untuk Refleksi Diri – Bantu anak untuk menilai perkembangan belajar mereka, mengenali pencapaian yang sudah diraih dan memahami hal-hal apa saja yang perlu diperbaiki.
  • Jadilah Contoh yang Baik – Anak banyak belajar dari contoh yang Ayah Bunda berikan. Tunjukkan pada anak bagaimana cara mengatur waktu dan menyelesaikan tugas dengan disiplin.
  • Manfaatkan Sumber Daya yang AdaProgram Daring Rutin di SMM dapat menjadi tools yang sangat berguna untuk membantu anak belajar dengan struktur yang jelas, namun tetap memberikan fleksibilitas yang mereka butuhkan.

Sudahkah Ayah Bunda mencoba metode belajar yang membangun self-regulation anak di rumah? Self-regulation dapat menjadi pondasi yang penting dalam kesuksesan akademik anak, terutama dalam homeschooling. Dengan kebebasan untuk belajar di rumah, anak memiliki kesempatan untuk mengatur dirinya sendiri, namun tetap dengan dukungan yang baik dan konsisten dari Ayah Bunda.

Bagaimana Ayah Bunda? Sudah siap membantu anak belajar lebih mandiri dan sukses? Yuk coba program Daring Rutin di SMM dengan segala aktivitas dan program menarik di dalamnya dan bantu anak meraih kesuksesan akademik dengan cara yang lebih terstruktur, percaya diri, dan penuh semangat!

Baca juga: Self-Regulation: Kunci agar Anak Bisa Belajar dengan Lebih Efektif

Categories
Berita Terkini SMM Event Parenting

Highlight BINGKAI Vol.1: Tantangan Disiplin Positif, 5 Tipe Figur Disiplin, Ayah Bunda termasuk Tipe yang Mana?

“Disiplin bukan soal menghukum, tapi soal membentuk karakter.”
— Najelaa Shihab

Halo Ayah Bunda, masih ingatkah dengan inisiatif baru dari SMM yang berjudul BINGKAI Vol 1? Sebuah acara diskusi interaktif SMM bersama Keluarga Kita dengan konsep roadshow ke berbagai kota di Indonesia. Masih dalam serangkaian highlight BINGKAI Vol 1, ada lanjutan pembahasan yang akan kami bagikan dari topik Tantangan Disiplin Positif. Kali ini, pembahasannya akan berfokus pada pengenalan tipe figur disiplin positif.

Apakah Ayah Bunda pernah merasa bimbang saat harus menegur anak? Seperti berada pada situasi yang harus memilih, memberikan kesempatan pada anak untuk belajar tanggung jawab atau ada kekhawatiran akan terlalu keras jika melakukannya, tapi juga terlalu memanjakan jika tidak pernah mengajarkannya? 

Inilah situasi dilema yang telah menjadi isu klasik dalam parenting, serta belum menyadari gaya kita ketika menerapkan disiplin pada anak. Nah, di sesi BINGKAI Vol.1 ini menjadi salah satu topik pembahasan tentang gaya penerapan disiplin kepada anak yang mengerucut pada 5 tipe figur disiplin yang sering muncul dalam pola asuh orang tua.

Melalui artikel ini, kami ingin mengajak Ayah Bunda untuk memahami tipe figur disiplin,  mengenali gaya kita sendiri, dan yang tidak kalah penting adalah melihat bagaimana hal ini bisa berdampak langsung untuk perkembangan anak. Mari kita bahas satu persatu di sini ya.

Mengapa Disiplin Positif itu Penting?

Hal pertama yang sekaligus menjadi fundamental adalah memahami alasan pentingnya pemahaman dan penerapan disiplin positif. Nah, Ayah Bunda bisa langsung membaca pembahasan lengkapnya pada artikel Highlight BINGKAI Vol.1: Tantangan Disiplin Positif, Membangun Self-Regulation Anak Mulai Dari Memahami Sumber Motivasi.

Melanjutkan dari artikel sebelumnya, satu hal yang harus kita sepakati bersama adalah disiplin ini bukanlah bentuk kontrol orang tua kepada anak. Melainkan, proses menanamkan nilai tanpa paksaan atau menakuti anak. Seperti yang disebutkan oleh Psikolog anak dan remaja Dr. Laura Markham (penulis buku Peaceful Parent, Happy Kids), 

“Discipline should be about teaching, not punishing. Children need guidance, not fear.”

Anak yang tumbuh dalam suasana disiplin yang sehat akan belajar mengambil keputusan, bertanggung jawab, dan merasa aman untuk jadi dirinya sendiri. Oleh sebab itu, penting untuk mempelajari dan menerapkan disiplin positif kepada anak. 

5 Tipe Figur Disiplin dalam Pola Parenting

Setelah kita memiliki pemahaman yang sama terkait disiplin positif, selanjutnya yang perlu Ayah Bunda ketahui adalah setiap orang tua pasti memiliki karakteristik dalam penerapan disiplin kepada anak. Ada yang sifatnya saling melengkapi, tapi ada juga yang kontradiktif satu sama lain. Nah, disinilah pentingnya untuk mengetahui tipe figur disiplin dan bagaimana dampaknya terhadap anak. 

  1. Tipe Penghukum

  2. Pada tipe penghukum, emosi dominan yang ditunjukkan adalah marah. Sehingga dalam mendisiplinkan anak cenderung dilakukan dengan memberikan hukuman. Ketika anak melakukan kesalahan, respons yang muncul biasanya reaktif seperti marah, membentak, bahkan memberikan sanksi langsung tanpa menjelaskan alasannya. 

    Tujuannya memang untuk “menghentikan” perilaku negatif, namun metode ini tidak bisa diterapkan untuk jangka panjang karena dalam tidak menyentuh akar masalah dan justru dapat menimbulkan “masalah” baru, baik untuk orang tua maupun anak. 

    Dampak ke anak:
    Anak jadi takut salah, takut jujur, dan hanya patuh karena tekanan. Dalam jangka panjang, bisa tumbuh menjadi pribadi yang takut mengambil keputusan atau malah memberontak diam-diam.

    “Disiplin berbasis hukuman hanya efektif sementara, tapi tidak menanamkan nilai-nilai yang ingin kita ajarkan.”
    — Jane Nelsen, Positive Discipline

    Sebaiknya…

    Pertanyaan berikutnya, jika memiliki tipe ini bagaimana sebaiknya kita bertindak ketika ingin mendisiplinkan anak? Dalam penerapan disiplin positif, daripada langsung menghukum, sebaiknya ajak anak memahami konsekuensi logis dari tindakannya. 

    Boleh marah, tapi berikan penjelasan dan arahan kepada anak. Ambil jeda sejenak untuk menenangkan diri sebelum merespons anak. Disiplin bukan soal melampiaskan emosi, tapi tentang mendidik dan membentuk karakter.

  3. Tipe Pembuat Rasa Bersalah

  4. Orang tua dengan tipe ini sering merasa bersalah jika anak tidak “berhasil”, dan mengekspresikannya dalam bentuk kalimat pasif-agresif, tekanan emosional, atau ekspresi kecewa yang tidak disampaikan secara terbuka. Biasanya muncul saat orang tua punya standar tinggi terhadap diri sendiri dan anak, lalu tidak terbiasa menunjukkan kelemahan atau ketidaksempurnaan.

    Dampak ke anak:
    Anak menjadi perfeksionis dan takut gagal, tumbuh dengan suara batin yang keras seperti “Aku nggak cukup baik.” Dampak jangka panjangnya adalah bisa mempengaruhi kestabilan emosi anak dan cara mereka melihat dirinya sendiri di berbagai situasi.

    “Guilt is a natural emotion—but when it becomes a tool, it damages the child’s inner voice.”
    — Brené Brown

    Sebaiknya…

    Alih-alih membuat anak merasa bersalah, akui perasaan dan beri ruang diskusi. Tunjukkan bahwa kegagalan adalah bagian dari proses belajar. Ayah Bunda juga bisa membiasakan dengan afirmasi, “Tidak apa-apa gagal, yang penting kamu belajar,” dan contohkan bahwa orang tua pun bisa salah dan belajar juga.

  5. Tipe Teman Baik

  6. Tipe ini ingin jadi sahabat anak. Baik niatnya, tapi bisa jadi malah salah kaprah karena orang tua menyimpan perasaan takut membuat anak kecewa atau marah, kehilangan kedekatan emosional dengan anak, sehingga enggan memberikan aturan atau konsekuensi. Konsekuensinya, anak tidak belajar struktur dan batasan yang sehat.

    Dampak ke anak:
    Anak cenderung tumbuh tanpa memahami tanggung jawab. Mereka sulit menerima “tidak”, dan tidak terbiasa menghadapi konflik atau batasan sosial yang wajar.

    “Hubungan yang sehat bukan tanpa konflik, tapi mampu melalui konflik bersama.”
    — Najelaa Shihab

    Sebaiknya…

    Ingat, memberi batas itu bentuk cinta juga. Mulailah dengan membuat aturan bersama anak, dan tetap konsisten menjalankannya. Konflik kecil bukan berarti hubungan rusak, justru dari situ anak dapat belajar bernegosiasi dan memahami cara kerja dunia luar.

  7. Tipe Pemantau

  8. Tipe ini cenderung mengontrol, pada tingkat ekstrem akan mengatur, mengawasi, dan menilai setiap aspek hidup anak seperti belajar, makan, tidur, main. Semua ini berasal dari rasa khawatir berlebih bahwa anak akan gagal jika tidak “dibimbing”.

    Dampak ke anak:
    Anak merasa dicintai hanya ketika sukses. Mereka bisa tumbuh dengan kecemasan tinggi, takut salah, atau ketergantungan pada validasi eksternal.

    “Terlalu banyak kontrol bisa mematikan rasa percaya diri dan keingintahuan alami anak.”
    — Daniel J. Siegel, The Whole-Brain Child

    Sebaiknya…

    Ubah pendekatan dari “pengatur” menjadi pemandu, pengarah, dan penasihat. Biarkan anak mengambil keputusan kecil dalam kesehariannya, misal ketika memilih baju, menyusun jadwal belajar, dll. Bangun kepercayaan secara bertahap, dan bantu anak menilai keberhasilan dari proses, bukan hasil semata.

  9. Tipe Penumbuh 

  10. Inilah tipe yang menjadi figur ideal dan sebaiknya kita terapkan untuk parenting.  Figur yang mengajak anak belajar dari kesalahan, menetapkan aturan dengan diskusi, dan memberi ruang eksplorasi dan berkolaborasi. Mereka mengakui bahwa anak adalah individu yang unik dan sedang belajar, sehingga dapat menjaga keseimbangan antara aturan dan kasih sayang, mendorong anak berpikir, bukan hanya taat, dan membangun hubungan dua arah berdasarkan rasa percaya.

    Dampak ke anak:
    Anak tumbuh dengan motivasi internal yang kuat, mampu mengatur emosi, dan tahu bahwa kesalahan bukan hal fatal yang tidak dapat diperbaiki, melainkan kesempatan untuk bertumbuh.

    Empathy doesn’t mean permissiveness. It’s the foundation of effective boundaries.”
    — Dr. Laura Markham

    Oleh sebab itu, kita perlu terus melatih empati dan refleksi, menjadi tempat aman anak untuk bertanya, berbagi, bahkan melakukan kesalahan. Ayah Bunda juga bisa mulai menerapkan penggunaan pertanyaan terbuka seperti, “Menurutmu apa yang bisa dilakukan lebih baik lain kali?” untuk menumbuhkan rasa tanggung jawab dan kemandirian.

    Jadi, Kita termasuk Tipe yang Mana?

    Sampailah kita pada penghujung artikel, setelah membaca penjelasan di atas, mari kita coba merefleksikan diri untuk mengetahui tipe figur disiplin mana yang paling dominan kita terapkan pada anak. Bagaimana caranya? Ayah Bunda bisa memulainya dengan menjawab 3 pertanyaan dasar berikut. 

    1. Apa emosi pertama yang muncul saat saya mendisiplinkan anak?
    2. Mana gaya komunikasi saya, mengatur, menegur, atau mengajak bicara?
    3. Apakah saya lebih sering bereaksi atau merespon secara sadar?

    Ingat, tujuan dari refleksi ini bukan untuk menyalahkan diri sendiri. Tapi sebagai langkah awal untuk menjadi orang tua yang lebih sadar dan responsif terhadap kebutuhan emosional anak, serta sebagai kesempatan untuk tetap bertumbuh sebagai orang tua yang menjalankan kewajibannya kepada anak. 

    Jadi, Ayah Bunda cenderung masuk ke tipe yang mana nih?

Categories
Parenting Populer

Self-Regulation: Kunci agar Anak Bisa Belajar dengan Lebih Efektif

Pernahkah anak Ayah Bunda terlihat susah fokus saat belajar? Atau mungkin sering menunda-nunda tugas, bahkan setelah diingatkan berkali-kali? Sebenarnya, hal ini dapat diatasi dengan mengajarkan anak self-regulation atau kemampuan mengatur diri. Kemampuan ini tidak hanya penting dalam belajar, tapi juga membantu anak mengelola emosi dan tetap fokus, agar mereka bisa menghadapi tantangan di sekolah dan dalam kehidupan sehari-hari

Tapi, apa sih sebenarnya self-regulation itu, dan kenapa Ayah Bunda perlu tahu tentang hal ini? Yuk, simak lebih lanjut pembahasannya di sini ya.

Apa Itu Self-Regulation?

Self-regulation adalah kemampuan untuk mengendalikan diri sendiri, baik emosi, pikiran, maupun perilaku. Dalam hal belajar, dengan self regulation, anak bisa mengatur waktu belajar, tetap fokus meski ada gangguan, dan mengatasi perasaan frustrasi atau cemas saat menghadapi tantangan.

Menurut teori Self-Determination yang dikembangkan oleh psikolog Edward Deci dan Richard Ryan pada tahun 2000, anak yang bisa mengatur dirinya sendiri akan lebih mampu mencapai sukses, baik di sekolah maupun dalam kehidupan sosialnya. Mereka belajar bukan karena dipaksa, tetapi karena mereka termotivasi dari dalam diri mereka sendiri.

Gambar di atas adalah gambaran dari self regulation. Dengan Amotivasi atau tidak adanya motivasi, maka anak akan berada pada zona yang nyaman. Mereka tidak akan mengerjakan tugas karena merasa terlalu sulit atau tidak yakin dapat menyelesaikannya.

Sementara anak dengan motivasi yang dikontrol secara eksternal baik parsial atau menyeluruh, berada pada zona takut. Pada zona ini, mereka mengerjakan tugas karena hukuman, motivasi, atau citra di mata orang lain.

Berbeda dengan motivasi lainnya, motivasi yang tertata (otonomi) berasal dari internal pribadi anak. Pada zona belajar, anak menyelesaikan tugasnya karena merasa tugas ini dibutuhkan untuk proses belajarnya. Pada zona tumbuh, anak menyelesaikan tugasnya karena merasa tugas ini adalah tantangan baginya dan dapat mendukungnya untuk mencapai cita-cita.

Baca juga: Manfaat Disiplin untuk Anak, Mengapa Harus Diajarkan

Mengapa Self-Regulation Itu Penting?

Self-regulation berdampak secara signifikan terhadap cara anak belajar dan mengelola berbagai tantangan. Nah, berikut adalah beberapa alasan mengapa self-regulation dinilai sangat penting:

1. Mengelola Emosi

Seringkali, anak akan merasa frustasi atau cemas ketika menghadapi tugas yang sulit. Anak yang memiliki kemampuan self-regulation dapat mengendalikan perasaan tersebut dan tetap fokus menyelesaikan tugas.

2. Menetapkan dan Mencapai Tujuan

Anak yang mampu mengatur dirinya akan bisa menetapkan tujuan belajar yang jelas dan mengetahui langkah apa saja yang harus diambil untuk mencapainya.

3. Rasa Tanggung Jawab

Anak yang menerapkan self-regulation akan merasa lebih bertanggung jawab terhadap pembelajaran mereka. Mereka tidak hanya menunggu perintah, tapi juga bisa mencari cara untuk menyelesaikan tugas secara mandiri.

4. Belajar dengan Lebih Mandiri

Anak yang terlatih dalam self-regulation akan bisa mengatur waktunya sendiri, menyelesaikan tugas tanpa harus selalu diawasi, dan lebih fokus pada hasil yang ingin dicapai.

Komponen Self-Regulation yang Perlu Diketahui

Dalam self-regulation, ada tiga komponen utama yang perlu diperhatikan, yang menurut Ryan dan Deci memengaruhi bagaimana anak mengelola diri mereka dalam belajar:

1. Motivasi Intrinsik

Anak yang memiliki motivasi intrinsik belajar karena mereka ingin tahu lebih banyak, bukan karena terpaksa atau mengharapkan hadiah. Motivasi ini membuat mereka lebih semangat dan tahan lama dalam belajar.

Baca juga: Highlight BINGKAI Vol 1: Tantangan Disiplin Positif dan Membangun Self-Regulation Anak 

2. Kontrol Diri

Kontrol diri adalah kemampuan anak untuk menahan godaan dan tetap fokus pada tujuan yang lebih besar. Misalnya, meski ada godaan untuk bermain, anak bisa menunda dan menyelesaikan tugas terlebih dahulu.

3. Metakognisi

Poin ini adalah kemampuan untuk berpikir tentang cara belajar. Anak yang memiliki metakognisi yang baik tahu kapan mereka butuh istirahat, bagaimana cara memecah tugas yang besar menjadi bagian yang lebih kecil, dan kapan mereka perlu mencari bantuan.

Bagaimana Cara Meningkatkan Self-Regulation pada Anak?

Nah, bagaimana Ayah Bunda? Tertarik untuk meningkatkan self-regulation pada anak? Ayah Bunda dapat mencoba beberapa cara mudah berikut:

1. Bantu Anak Menetapkan Tujuan Belajar

Ajak anak untuk menetapkan tujuan belajar yang spesifik dan jelas. Misalnya, “Hari ini, kamu harus menyelesaikan 10 soal matematika dalam 30 menit.” Dengan tujuan yang jelas, anak akan lebih mudah fokus. 

2. Berikan Pilihan untuk Meningkatkan Rasa Otonomi

Anak yang merasa memiliki kontrol terhadap cara mereka belajar akan lebih termotivasi. Misalnya, Ayah Bunda dapat memberikan mereka pilihan waktu dan tempat belajar yang nyaman, atau metode belajar yang mereka suka.

3. Ajarkan Pengelolaan Emosi

Ajarkan anak cara untuk menenangkan diri ketika merasa frustasi atau cemas. Teknik pernapasan sederhana atau cara memecah tugas menjadi lebih kecil bisa membantu mereka tetap tenang dan fokus.

4. Berikan Feedback yang Positif

Saat anak berhasil menyelesaikan tugas, beri mereka pujian yang tulus. Feedback yang positif akan membuat anak merasa dihargai dan semakin percaya diri untuk belajar lebih baik lagi.

5. Ciptakan Lingkungan Belajar yang Mendukung

Lingkungan yang nyaman dan bebas gangguan akan membantu anak belajar lebih fokus. Pastikan anak memiliki ruang yang tenang dan alat belajar yang cukup mendukung sehingga mereka dapat belajar dengan nyaman. 

Nah, untuk poin ini, Ayah Bunda bisa dapat memberikan lingkungan belajar yang baik dan tepat bagi anak, misalnya dengan belajar di Sekolah Murid Merdeka (SMM). Sebuah sekolah yang menerapkan pembelajaran online dan offline, menawarkan berbagai program dan manfaat yang tidak hanya ditujukan untuk anak, tapi juga untuk orang tuanya melalui program ekstra yang telah dikurasi oleh tim kami. 

Last but not least,

Dengan self-regulation, anak tidak hanya bisa belajar lebih fokus, tapi juga lebih siap menghadapi tantangan sehari-hari. Yuk, bantu mereka menerapkan self-regulation. Ayah Bunda dapat memulai dengan hal-hal kecil, seperti membantu anak menetapkan tujuan belajar atau mengajarkan cara mengelola emosi saat merasa frustasi.

Memang prosesnya mungkin tidak selalu mudah. Namun, dengan bimbingan Ayah Bunda, anak akan terbiasa untuk mengendalikan dirinya, tumbuh lebih percaya diri dan siap menghadapi berbagai tantangan!

Categories
Berita Terkini SMM Event Parenting

Highlight BINGKAI Vol.1: Tantangan Disiplin Positif, Membangun Self-Regulation Anak Mulai Dari Memahami Sumber Motivasi

Tahukah Ayah Bunda, bahwa sejak tanggal  28 November 2024, Sekolah Murid Merdeka (SMM) merilis inisiatif baru bernama BINGKAI Vol 1. Bincang SMM Bareng Keluarga Kita, sebuah acara yang mengusung konsep roadshow ke berbagai kota sesuai jangkauan lokasi hub SMM, berlangsung selama periode tahun ajaran 2024/2025.  

Acara ini adalah hasil kolaborasi dengan Keluarga Kita, untuk menciptakan BINGKAI sebagai komitmen SMM untuk memberikan dukungan kepada orang tua murid dalam memahami aspek-aspek penting dalam pengasuhan dan pendampingan anak di lingkungannya, termasuk keluarga dan dan sekolah. 

Bukan sekadar bincang biasa, tapi SMM juga melibatkan praktisi pendidikan sebagai narasumber inspiratif, di antaranya Ibu Najelaa Shihab sebagai Founder SMM, Radinka Qiera sebagai Co-founder SMM,  Yason Pranata sebagai Direktur SMM, dan pemateri dari Keluarga Kita sebagai praktisi dalam pengasuhan anak. 

Nah, melalui artikel ini kami ingin membagikan highlight acara yang sudah berlangsung kepada Ayah Bunda yang belum sempat menghadiri roadshow BINGKAI Vol.1 ini. Salah satunya, tentang penerapan disiplin positif dan pengembangan self-regulation untuk mendukung pertumbuhan anak, baik dalam keluarga maupun lingkungan sekolah.

Wah, seperti apa ya materinya? Mari kita simak sampai tuntas artikel ini. 

Tantangan Disiplin Positif pada Anak

Satu hal yang sebaiknya kita sepakati sejak awal adalah pemahaman dasar bahwa disiplin positif bukan hanya soal memberi aturan atau menghukum anak ketika berperilaku buruk. Lebih dari itu, disiplin positif berkaitan dengan pendekatan yang melibatkan empati kita sebagai pihak yang paling dekat dengan anak, pemahaman, serta pemberian contoh yang baik. 

Sayangnya, dalam praktiknya, masih sering kita jumpai secara langsung maupun dari media massa orang tua yang menghadapi tantangan bahkan kurang tepat dalam menerapkan disiplin positif. Mengapa ini bisa terjadi? Mengutip dari penjelasan yang disampaikan oleh narasumber BINGKAI Vol. 1, beberapa hambatan sering bermunculan seiring dengan pengasuhan anak, baik di rumah maupun sekolah, seperti:

  1. Kurangnya Pemahaman tentang Metode Disiplin Positif
    Tidak semua orang tua memahami konsep disiplin positif secara komprehensif. Esensinya, disiplin positif bukan berarti kita menerapkan hukuman untuk mengajarkan kedisiplinan kepada anak. Melainkan, cara kita untuk mengajarkan anak bertanggung jawab atas tindakan mereka sendiri, dengan tetap memberikan perhatian pada proses belajar dan perkembangan mereka.
  2. Kesabaran yang Terbatas
    Pengasuhan anak adalah proses panjang yang membutuhkan kesabaran, begitu pula dengan menerapkan disiplin positif sebagai salah satu bagiannya. Lumrah jika dalam prosesnya, kita menjumpai orang tua atau bahkan kita sendiri merasa atau mengeluarkan emosi negatif atas perilaku anak di luar ekspektasi kita sebagai orang tua.

Di sinilah peran kita sebagai orang tua diuji, bagaimana cara kita untuk mengelola emosi dan “menaikkan batas kesabaran” ketika menghadapi perubahan perilaku anak. Utamanya, dalam proses mengenal dan membangun karakter mereka. 

  1. Ekspektasi yang Terlalu Tinggi
    Seperti rahasia umum, kita masih sering menjumpai atau bahkan mengalami sendiri sebagai orang tua yang memiliki ekspektasi terlalu tinggi terhadap perubahan perilaku anak. Misalnya, berharap anak langsung bisa mengikuti aturan tanpa diberi kesempatan untuk belajar dari kesalahan. Padahal, pengembangan disiplin positif melibatkan pemberian ruang bagi anak untuk mengatasi kesalahan mereka dengan cara yang mendidik.
  2. Mispersepsi Anak terhadap Orang Tua
    Siapa yang mengira jika pendekatan reward kepada anak setelah menyelesaikan tanggung jawabnya juga terkadang bisa memicu mispersepsi. Jika dilakukan dalam tahap wajar, tentu ini tidak akan menjadi masalah. Namun, ketika porsinya sudah melebihi batas dan akhirnya membuat anak hanya mau mendengarkan atau menjalankan instruksi selama ada reward, tentu ini bukanlah metode pengasuhan bisa dilanjutkan begitu saja. 

Sebagai orang tua, kita perlu melakukan refleksi dan berbenah. Harapannya, kita bisa menanamkan motivasi internal dan konsep tanggung jawab pribadi kepada anak, tanpa iming-iming yang menjadi ketergantungan kurang baik untuk dampak jangka panjangnya. 

Coba absen dulu, di antara Ayah Bunda pembaca artikel ini, siapa yang pernah mengalami mispersepsi seperti yang disebutkan? Kalau Ayah Bunda salah satunya, pastikan untuk terus membaca artikel ini supaya bisa mendapatkan lesson learned atau solusi untuk mengatasi tantangan ini. 

Sumber Motivasi: Intrinsik vs. Ekstrinsik

Highlight kedua berkaitan dengan pengenalan sumber motivasi anak yang menjadi pemahaman dasar sebelum mempelajari prioritas maupun strategi yang dapat Ayah Bunda terapkan dalam rangka memberikan lingkungan terbaik untuk pertumbuhan dan perkembangan anak. 

Dalam pengasuhan dan pendidikan, motivasi anak menjadi kunci utama dalam proses belajar. Berikut adalah penjelasan dasarnya terkait klasifikasi motivasi anak. 

  1. Motivasi Intrinsik (Internal)
    Motivasi ini datang dari dalam diri anak, yang muncul ketika mereka melakukan sesuatu karena mereka benar-benar ingin melakukannya, bukan karena adanya paksaan atau hadiah dari luar. Anak dengan motivasi intrinsik cenderung lebih mandiri dan memiliki kontrol diri yang baik. Mereka belajar dengan tujuan untuk mendapatkan kepuasan dari proses itu sendiri. Motivasi inilah yang akan kita usahakan agar anak dapat memilikinya.
  2. Motivasi Ekstrinsik (Eksternal)
    Motivasi ekstrinsik bergantung pada faktor eksternal, seperti hadiah, pujian, ancaman bahkan hukuman. Ini adalah motivasi yang dipicu oleh sesuatu di luar diri anak, bukan karena mereka merasa tertarik pada aktivitas itu sendiri, yang tidak bisa kita gunkan terus menerus karena akan memberikan dampak buruk untuk jangka panjang. 
  3. Amotivasi (Tanpa Motivasi)
    Anak yang mengalami amotivasi tidak merasa tertarik atau memiliki alasan untuk melakukan suatu tindakan. Kondisi ini biasanya muncul ketika anak merasa tidak ada nilai dalam apa yang mereka lakukan. 

 

Motivasi Mana yang Harus Didahulukan?

Setelah paham tentang klasifikasi motivasi, muncul pertanyaan berikutnya. Manakah yang harus kita dahulukan untuk memberikan pengasuhan terbaik bagi anak? 

Coba kita tarik ke belakang sebentar, tentang miskonsepsi yang sering muncul. Adanya anggapan bahwa motivasi eksternal diperlukan untuk memicu motivasi internal. Sehingga, tidak sedikit orang tua atau pendidik yang memberikan hadiah atau hukuman untuk memicu motivasi internal anak. 

Padahal, ada pendekatan yang lebih efektif, yaitu membantu anak menemukan makna dalam tindakan mereka, sehingga mereka dapat mengembangkan motivasi intrinsik yang kuat. Mengutip dari yang disampaikan pemateri pada BINGKAI Vol.1, 

“Anak-anak dari lahir sudah punya motivasi internal dan otonomi.” 

Artinya, pada dasarnya anak sudah memiliki dorongan untuk belajar dan berkembang, hanya saja mereka membutuhkan pendampingan dan bantuan kita sebagai orang tua untuk menguatkan dan mengarahkan motivasi intrinsik mereka, salah satunya melalui pembelajaran makna di setiap aktivitasnya. 

Baca juga: Self-Regulation: Kunci agar Anak Bisa Belajar Lebih Efektif 

Motivasi Eksternal, Sebuah Kontrol bagai Pedang Bermata Dua

Meskipun memberi hadiah atau motivasi eksternal kadang diperlukan dalam situasi tertentu, terlalu bergantung pada kontrol eksternal ini bisa memberikan dampak kurang baik. Anak yang terbiasa diberikan penghargaan eksternal cenderung menjadi tergantung pada pujian atau hadiah, dan kehilangan rasa kepuasan yang sejati dalam melakukan sesuatu. 

Ini juga bisa menurunkan kemampuan mereka untuk mengembangkan self-regulation, yaitu kemampuan untuk mengendalikan diri dan bertanggung jawab atas tindakan mereka. Sebagai contoh, memberi hadiah uang jika anak berhasil berpuasa sehari bisa jadi hanya menciptakan “zona takut,” di mana anak merasa terpaksa melakukan sesuatu hanya untuk mendapatkan hadiah, bukan karena merasa nilai dari tindakan tersebut. Hal ini justru menghalangi mereka untuk memahami proses belajar yang sesungguhnya.

Strategi Membangun Disiplin Positif yang Berkelanjutan

Sampailah kita di bagian memilih strategi yang tepat untuk membantu anak mengembangkan self-regulation dan disiplin positif yang berkelanjutan, Bu Najelaa Shihab bersama pemateri BINGKAI lainnya, sepakat bahwa ada banyak strategi yang bisa ktia coba, beberapa di antaranya seperti:

  1. Fokus pada Proses, Bukan Hasil
    Alih-alih hanya memfokuskan anak pada hasil akhir, seperti nilai ujian atau pencapaian lainnya, alangkah lebih baik jika kita memberikan perhatian pada proses belajar yang mereka jalani. Ini akan membantu anak untuk menghargai usaha mereka sendiri, bukan hanya hasil yang dicapai.
  2. Berikan Makna pada Pembelajaran
    Anak yang memahami nilai dari apa yang mereka pelajari cenderung lebih termotivasi untuk belajar. Oleh karena itu, penting bagi orang tua dan pendidik untuk membantu anak menemukan makna dalam setiap tugas atau kegiatan yang mereka lakukan.
  3. Bangun Kepercayaan Diri dan Komitmen
    Memberikan anak kesempatan untuk merasakan kepuasan dari pencapaian yang mereka raih dengan usaha sendiri. Ini dapat membangun rasa percaya diri dan komitmen mereka untuk terus belajar.

Dari BINGKAI Vol.1, Kita Belajar tentang …..

BINGKAI Vol.1 memberikan banyak insight dan pengalaman praktis dari praktisi serta orang tua yang telah mencoba menerapkan disiplin positif dalam pengasuhan mereka. Melalui sesi berbagi pengalaman ini, kami berharap Ayah Bunda dapat saling belajar tentang tantangan dan keberhasilan dalam mendampingi anak, serta mendapatkan inspirasi untuk terus menerapkan pendekatan yang lebih efektif dalam mendidik anak.

Sebagai penutup, Bu Najelaa Shihab kembali mengingatkan bahwa disiplin positif bukan hanya soal mengontrol perilaku anak, tetapi tentang membangun karakter yang mandiri dan bertanggung jawab. Harapannya, orang tua bisa menjadi teladan dan pendamping yang sabar, konsisten, dan penuh kasih dalam proses mendampingi anak.

Karena pada dasarnya disiplin positif adalah pendekatan yang berfokus terhadap pengembangan karakter anak, bukan hanya sekadar mengatur atau mengontrol perilaku mereka. Oleh sebab itu, mempelajari dan mempraktikkan teori ini juga bisa membantu anak untuk mengembangkan self-regulation yang baik, yang pada akhirnya akan mendukung pertumbuhan emosional dan sosial mereka dengan lebih baik. 

Categories
Cerita SMM Terbaru

Cerita SMM Airlangga: Field Trip Seru, Bahagia, dan Penuh Makna

Field trip adalah kegiatan belajar yang dilakukan di luar kelas untuk mendapatkan pengalaman langsung terkait materi yang dipelajari. Kegiatan ini bisa berlangsung di berbagai lokasi, seperti museum, taman nasional, pabrik, atau tempat bersejarah.

Kegiatan ini bukan hanya kegiatan belajar yang dilakukan di luar kelas, tetapi juga bisa dimaksimalkan sebagai kesempatan berharga bagi anak-anak untuk belajar langsung dari pengalaman, mengeksplorasi dunia, membangun keterampilan sosial, dll. Melalui field trip, mereka dapat melihat, merasakan, dan berinteraksi dengan lingkungan baru, yang tentu saja akan meninggalkan kesan mendalam dan penuh makna dalam proses belajar mereka.

Seperti cerita keseruan penuh makna yang datang dari kegiatan field trip Kawan Murid di Sekolah Murid Merdeka (SMM) Airlangga. Hari itu, Minggu 20 Oktober matahari bersinar cerah ketika rombongan murid TK dan fasilitator bersiap-siap untuk berangkat mengikuti field trip dengan konsep yang ‘tidak biasa’. 

Mereka terlibat langsung menjadi sukarelawan dalam kegiatan “Dapur Umum dan Food Rescue” yang diinisiasi oleh Garda Pangan, sebuah food bank yang bertujuan menjadi pusat koordinasi makanan surplus yang berpotensi terbuang. Dalam menjamin keamanan dari makanan tersebut tentunya Garda Pangan menerapkan Standard Operating Procedure (SOP) yang ketat untuk memastikan makanan ditangani secara higienis dan disampaikan secara bermartabat. 

Pada kegiatan tersebut Kawan Murid terlibat secara langsung untuk berbagai hal, mulai dari proses penyortiran makanan, proses reheat makanan, hingga pendistribusian makanan surplus kepada masyarakat prasejahtera. Sebuah aktivitas penuh makna yang bisa memberikan banyak hal baik sekaligus kepada berbagai pihak, terutama Kawan Murid.

Seperti kesan singkat dari Aqeela, salah satu kawan Murid SD kelas 6 SMM Airlangga yang berbagi pengalamannya dalam kegiatan field trip bersama Garda Pangan, “dari kegiatan ini aku belajar banyak hal misalnya lingkungan, peduli dengan sesama manusia, dan tidak boleh membuang makanan lagi.” 

Melalui kegiatan Food Rescue yang dilakukan pada hari itu,  Kawan Murid bersama Garda Pangan berhasil menyelamatkan 300 buah roti, 13 buah susu, dan 72 kg protein yang terdiri dari daging, ayam, dan ikan menjadi sampah organik. Dan memastikan surplus makanan yang masih layak disalurkan kepada pihak yang membutuhkan, daripada terbuang secara sia-sia tanpa pengolahan yang tepat.

Dengan demikian, maka tujuan field trip Dapur Umum dan Food Rescue” untuk memperkaya pemahaman siswa dan memberikan mereka kesempatan belajar dalam konteks yang lebih nyata telah tercapai dengan cara yang tepat dan penuh makna. Bukan itu saja, kami percaya field trip juga dapat meningkatkan keterampilan sosial dan kerja sama di antara Kawan Murid. 

“Kami berharap, melalui field trip dapat belajar cara melestarikan lingkungan dan membangun kepekaan terhadap dampak food loss and waste. Serta mulai peduli dan awas terhadap lingkungan sekitar, baik dari segi menjaga kebersihan maupun tidak membuang makanan lagi,” cerita Diajeng Ayu (Wali Kelas SD 4-6) sebagai penutup cerita keseruan penuh makna dari field trip SMM Airlangga.

Masih ada kesempatan untuk memberikan pengalaman seru penuh makna seperti cerita field trip ini kepada anak, langsung aja cek informasi selengkapnya di instagram SMM Airlangga, coba daftar sekarang, atau hub terdekat lainnya. 

#SemuaAnakBisa

#MariMembuatDampak